AGTI Tekankan Pentingnya Patuh Pajak Agar Thrifting Tidak Rugikan Industri

Rabu, 05 November 2025 | 12:22:05 WIB
AGTI Tekankan Pentingnya Patuh Pajak Agar Thrifting Tidak Rugikan Industri

JAKARTA - Industri garmen dan tekstil Indonesia kembali menyuarakan kepeduliannya terhadap praktik impor ilegal dan penjualan pakaian bekas atau thrifting.

Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Selasa, 4 November 2025 untuk membahas strategi penguatan industri, tantangan regulasi, dan peluang pasar global yang tengah terbuka bagi produk lokal.

Ketua Umum AGTI, Anne Patricia Sutanto, menyampaikan bahwa pertemuan tersebut menjadi momentum penting untuk menyampaikan berbagai kendala yang dihadapi pengusaha garmen, termasuk persoalan izin usaha, praktik impor ilegal, dan kepatuhan perpajakan bagi importir. 

“Kami ingin pemerintah mengetahui bahwa di level tertentu mungkin ada backlog yang bisa dibuka untuk mempermudah operasional industri,” ujarnya. Anne menambahkan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, memiliki peran penting untuk memfasilitasi koordinasi lintas kementerian agar hambatan ini bisa diselesaikan.

Selain itu, AGTI juga menyoroti fenomena pakaian impor bekas atau thrifting yang dinilai mengganggu pertumbuhan industri dalam negeri. Anne menjelaskan bahwa, meski pertemuan tidak secara khusus membahas thrifting, pihaknya sepakat dengan pernyataan Menkeu dan Dirjen Bea Cukai bahwa praktik impor pakaian bekas harus dikendalikan agar tidak masuk ke pasar lokal secara ilegal. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Perdagangan yang melarang masuknya pakaian bekas ke Indonesia.

“Kami bisa memberikan solusi agar pakaian bekas tersebut dijadikan bahan daur ulang. Misalnya polyester bisa dicacah menjadi bahan dasar polyester, cotton menjadi cotton base, dan sebagainya. Ini sekaligus menjadi sumber bahan baku bagi industri lokal,” jelas Anne. Dengan cara ini, sampah tekstil dapat dimanfaatkan tanpa merugikan industri dalam negeri atau masyarakat.

AGTI menegaskan bahwa pengusaha lokal tidak anti impor, namun kepatuhan terhadap aturan adalah hal yang wajib. Pakaian impor yang masuk ke Indonesia harus mengikuti regulasi, termasuk kepatuhan pembayaran pajak. “Kami pun membayar pajak, mulai dari PPh 21 hingga PPh 25. Kami berharap importir juga patuh agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi industri lokal,” tambah Anne.

Dalam pertemuan tersebut, selain membahas peraturan impor, AGTI juga memaparkan peta jalan daya saing industri garmen dan tekstil, termasuk analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat). Anne menyoroti peluang baru bagi industri nasional, terutama dengan adanya perjanjian dagang bebas antara Indonesia dengan sejumlah negara, seperti Uni Eropa dan Kanada. Kesepakatan dagang ini diyakini dapat membuka pasar ekspor baru dan meningkatkan daya saing produk tekstil Indonesia di kancah global.

Diskusi juga mencakup isu debottlenecking, yakni mempercepat proses perizinan dan mempermudah akses usaha bagi produsen lokal. Anne menegaskan, kemudahan ini akan membantu pengusaha meningkatkan produksi, menjaga kualitas, dan menyesuaikan harga dengan kebutuhan pasar. “Beberapa hal memang ranahnya Kemenkeu, dan Pak Purbaya bisa menyampaikan rekomendasi ke kementerian terkait agar masalah ini bisa segera diatasi,” katanya.

Fenomena thrifting sendiri menjadi sorotan karena popularitasnya yang tinggi di pasar modern maupun tradisional. Meski diminati konsumen karena harga relatif murah, praktik ini dianggap menekan penjualan produk lokal dan berpotensi menimbulkan kerugian pajak. AGTI menekankan perlunya pengawasan ketat agar impor pakaian bekas tetap berada dalam jalur legal dan tidak merugikan industri domestik.

Selain itu, solusi daur ulang yang ditawarkan AGTI diharapkan dapat menjadi alternatif pemanfaatan pakaian bekas tanpa membiarkannya masuk ke pasar secara ilegal. Pendekatan ini memungkinkan pihak industri mengelola bahan baku tambahan sekaligus menjaga keberlanjutan bisnis lokal. Dengan memanfaatkan sampah tekstil sebagai bahan baku, industri dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan mentah, sekaligus mendorong inovasi dalam pembuatan produk baru.

Pemerintah juga diharapkan memberikan pendampingan bagi UMKM yang selama ini menjual produk thrifting agar transisi ke produk lokal berjalan mulus. Pelatihan terkait manajemen stok, strategi pemasaran, dan akses permodalan bisa menjadi kunci agar pedagang tetap berdaya saing, sekaligus mendukung pertumbuhan industri garmen nasional.

Anne menegaskan bahwa tujuan utama pertemuan ini adalah menciptakan ekosistem perdagangan yang sehat dan berkelanjutan. Pedagang tetap bisa berjualan, industri lokal tumbuh, dan masyarakat mendapatkan produk berkualitas. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk memperkuat UMKM serta industri garmen yang mandiri dan berdaya saing di pasar domestik maupun global.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan industri garmen dan tekstil Indonesia mampu bersaing lebih kuat, memanfaatkan peluang ekspor, dan tetap menjaga kualitas produk di pasar lokal. Selain itu, kontrol terhadap praktik impor ilegal dan thrifting akan memastikan industri lokal berkembang secara adil, seimbang, dan berkelanjutan.

Terkini